Majelis Hakim Ajak Buka Hati Nurani Para Peserta Sidang.
On Tuesday, November 28, 2017
Hakim Majelis kembali menunda sidang dan akan dilanjutkan hari Kamis dengan dengan agenda yang sama pemeriksaan saksi-saksi yang akan dihadirkan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
I Wayan Sudirta, SH, selaku Kuasa Hukum RC, setelah sidang menjelaskan bahwa saksi tidak dapat hadir karena bencana alam, itu sesuatu yang tidak dapat dihindari. “Tapi yang jauh lebih penting kalau saksi tidak hadir terus menerus, lalu karena bencana alam segala resiko dan dibebankan kepada terdakwa itu tidak fear,” ujarnya.
Lebih lanjut dikatakan, makanya kami cari jalan keluar kasih penangguhan penahanan, perkara ini sama sekali tidak ada dasar hukum baik Perdata, TUN, karena pihak lawan kalah semua dalam sidang terdahulu. “Sekarang masih berusaha lagi memperebutkan hak-hak keperdataan, seharusnya kami sudah mengajukan kedua-duanya dimana ketidakmasuk akalan perkara ini,” imbuhnya.
Perkara mendakwakan Pasal 263 membuat Surat Palsu, dan menggunakan surat palsu ini saja sudah ajaib, membuat surat palsu itu tidak akan terjadi apabila tidak menggunakannya. “Contoh, saya buat lalu saya sembunyikan, itu tidak dapat dikenakan Pasal 263 ayat (1), otomatis membuat setelah digunakan dan menimbulkan kerugian baru kena Pasal 263 ayat (1),” jelasnya.
Dikataknnya, sedangkan Pasal 263 ayat (2) menggunakan, yang menggunakan belum tentu yang membuat, tapi dia tahu itu surat palsu digunakan juga, itu baru kena, tegasnya.
Ini kedua-duanya kena, kan ini aneh, artinya Jaksa mungkin dalam kondisi meraba-raba, tanpa maksud menyudutkan Jaksa, siapa yang membuat Jaksa ini terpojok, pasti ada kekuatan besar di belakang kasus ini, yang memaksakan Jaksa memajukan perkara Pasal 263 padahal seluruh laporan Pasal 266, seluruh panggilan Pasal 266, seluruh pemeriksaan BAP Pasal 266.
Menurut teori, sejak adanya penyelidikan, sprindik penyelidikan mencari alat bukti, mencari tersangka itu harus konsisten pasalnya. Kalau Pasal 266 laporan berarti sprindiknya Pasal 266, mencari bukti berdasarkan sprindik ada tidak alat bukti unsur Pasal 266, kalau ada dicari tersangkanya, siapa yang melanggar Pasal 266 baru boleh dakwaan dibuat, berdasarkan Pasal 266, terang Wayan lagi.
Menurut Wayan, ini Pasal 266 setelah diperiksa sama sekali tidak terbukti, makanya tidak bisa dibuat dakwaan Pasal 266, kalau tidak dapat dibuat Pasal 266, pasal berapa, tidak boleh berarti SP3, Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), berhenti perkara itu, ujarnya.
Dijelaskan Wayan, kecuali dia melaporkan lagi berdasarkan Pasal 263, tapi dicabut dulu Pasal 266, karena tidak boleh dihidupkan dua pasal, mencabut tidak, melapor tidak, tahu-tahu Pasal 263 dijadikan dakwaan.
“Ini baru pertama kali saya menemukan kasus seperti ini, saya tidak bisa menyalahkan Polisi, Jaksa dan Hakim sekarang, karena saya yakin di belakang kasus ini ada kekuatan maha besar yang memaksakan kasus ini dari penyelidikan menjadi ke penyidikan, penyidikan menjadi P21 sampai kejaksaan dan berakhir pada ke pengadilan, apa yang terjadi kasus ini tersendat-sendat, penuh keraguan, silahkan anda baca mimik para peserta sidang, pihak yang labil tertawa saja tidak, mungkin kalau wartawan sampai tertawa mungkin hakim berpikir beda,” ujarnya.
“Saya ingin mengundang hati nurani para peserta sidang agar membuktikan, bahwa ini perkara dagelan, dan hakim harus mengetahui ini, dan mari kita ketuk hakim bersama-sama, artinya bahwa perkara dagelan tidak boleh menghukum terdakwa. Maka pada tingkatan awal perkara dagelan ini harus diatasi dengan cara penangguhan penahanan. Kalau menghentikan persidangan tidak bias, kira-kira begitu.
Sementara menurut Dr (Yuris) Dr (MP) H. Teguh Samudera, SH, MH, bahwa bukti laporan tuduhan Pasal 266, tidak bisa dalam dakwaan menjadi Pasal 263. “Ini pindah dengan sendirinya tidak ada azas hukumnya, ini seharusnya tidak bisa diterima, tetapi sudah terlanjur dipersidangkan kita tekun saja, kita kaji semuanya,” tutup Teguh Samudera.